Waktu KerLiP mengadakan seminar dan pelatihan tentang pendidikan berbasis Hak Anak, Raka kami beri kesempatan untuk mengutarakan pendapatnya. Berikut makalah yang dibawakannya di hadapan 104 guru SD-SMA se Jabar dan seorang Guru besar UPI Bandung.
Bullying dapat terjadi pada kalangan manapun. Teman sekelas di sekolah, teman sekelas di tempat les, dan bahkan orangtua, guru, serta orang dewasa lainnya berpotensi menjadi pelaku bullying. Semua tempat juga bisa menjadi ladang bullying. Tetapi, sebenarnya apa itu bullying?
Dalam definisi pribadi saya, bullying adalah suatu bentuk penindasan dimana seseorang yang lebih kuat menindas seseorang yang lebih lemah. Bentuk bullying bermacam-macam adanya, tetapi saya sendiri mengelompokkannya dengan julukan penyiksaan fisik dan penindasan mental. Penyiksaan fisik adalah suatu bentuk bullying yang menggunakan kekerasan fisik. Kekerasan itu meliputi penendangan, pemukulan, pen”jitak”an , dan lain-lain. Sementara itu, penindasan mental adalah suatu jenis bullying yang menggunakan perkataan alih-alih kekerasan fisik. Bullying ini meliputi penyebaran gosip-gosip miring, pengejekan, dan lain-lain. Sasaran bullying dalam lingkup anak-anak biasanya adalah anak-anak yang lebih lemah, cacat mental atau fisik, anak baru, dan anak yang merupakan minoritas.
Menurut penulis Barbara Coloroso dalam bukunya Penindas, Tertindas, dan Penonton, ada tiga jenis aktor dalam sandiwara bullying yaitu penindas, tertindas, dan penonton. Penindas adalah orang yang menjadi pelaku bullying, tertindas adalah yang ditindas oleh sang penindas, dan penonton adalah yang menonton ketika penindasan terjadi.
Orang dewasa, kurasa, lebih banyak menggunakan kekerasan mental. Begini, biasanya anak tertindas yang cukup berani melapor pasti akan melapor pada guru dan/atau orangtuanya serta orang terdekatnya, istilahnya, curhat. Masalahnya, banyak orang dewasa malah membenarkan alasan sang penindas untuk melakukan bullying dan/atau malah, lebih buruknya lagi, mendukung sang pelaku bullying. Menurutku, ini karena kecerdikan para penindas. Mereka mungkin menampilkan diri sebagai seseorang yang dibenci dan ditakuti di mata para murid dan kawan-kawannya, tetapi di mata guru atau orang dewasa lain, mereka berpura-pura menjadi anak baik. Bersukarela membantu, bertingkah-laku dan berbicara sopan, dan melakukan hal-hal lain yang dapat menghapus sama sekali kecurigaan terhadap mereka. Tentunya, perbuatan ini akan memberi makna baru bagi frasa, ”Ada udang dibalik batu”. Oleh karena itu, hati-hatilah! Para anak tertindas umumnya takut pada, well, segala sesuatu dalam bullying. Bukan berarti saya bermaksud bahwa mereka takut membaca makalah tentang bullying, tidak. Maksudku adalah, mereka takut pada bullying dan penindas serta takut untuk menyelesaikan masalah bullying. Belum lagi, mereka sangat ketakutan melapor kepada orang lain mengenai terjadinya bullying terhadapnya, dan ini membuat penindasan terus dilanjutkan oleh sang penindas, sebab sang penindas merasa bahwa tidak ada ancaman baginya dari orang lain saat dia melakukan bullying.
Belum lagi, anak-anak tertindas memiliki kecenderungan menyerah kepada sang penindas, yang tentunya membuat keadaan lebih parah. Kehadiran elemen ketiga dalam bullying malah membuat penderitaan mereka bertambah.
Definisi singkat mengenai sang penonton adalah bahwa mereka adalah orang yang menonton ketika bullying terjadi. Mereka memiliki kecenderungan yang sangat mengkhawatirkan, yaitu mendukung sang penindas. Bahkan, terkadang sang penonton malah ikut menjadi sang penindas dengan berpartisipasi menindas orang lain. Alasan-alasan klise seperti ”Dia (tertindas) pantas ditindas karena tidak mau diajak main.” dan lain-lain dijadikan legitimasi oleh mereka untuk tidak menghentikan aksi sang penindas atau bahkan membela sang tertindas. Bahkan, mungkin saja mereka juga takut dijadikan sasaran baru oleh sang penindas.
Tentunya, ada banyak undang-undang yang dilanggar oleh terjadinya bullying, termasuk Undang-Undang Nasional RI Tentang Perlindungan Anak serta undang-undang yang dikeluarkan Konvensi Hak Anak.
Dalam Konvensi Hak Anak, tercatat ada dua hal yang dilanggar oleh terjadinya bullying. Undang-undang yang pertama adalah Undang-Undang Pasal 16 Ayat 1 yang berbunyi: Tidak seorang anakpun dapat dikenai campur tangan sewenang-wenang atau tidak sah mengenai kehidupan pribadi, keluarga, rumah tangga, atau hubungan surat menyuratnya, ataupun diserang secara tidak sah nama baiknya.Undang-undang ini tampaknya merujuk kepada bullying jenis mental. Dimana sindiran, penyerangan nama baik, dan hal-hal lain yang disebutkan dalam undang-undang tersebut digunakan sebagai alat bullying. Ayat selanjutnya dari pasal ini memberi semacam petunjuk apabila undang-undang ayat satu dilanggar: Anak berhak atas perlindungan hukum terhadap campur tangan/serangan seperti tersebut di atas. Tentunya, ayat ini seolah memberi peringatan bagi para penindas bahwa jalan hukum dapat ditempuh apabila terjadi bullying.
Pasal 27 ayat 1-2 juga merupakan pasal yang dilanggar oleh perbuatan bullying. Pasal ini berbunyi: Negara-negara pihak mengakui hak setiap anak atas kehidupan yang layak untuk pengembangan fisik, mental, spiritual, dan sosialnya. Tentunya maksud dari pasal ini adalah bahwa anak memiliki hak atas kehidupan yang layak untuk pengembangan fisik, mental, spiritual, dan sosial mereka. Tetapi, apakah bullying membantu pengembangan fisik, mental, spiritual, dan sosial mereka? Justru sebaliknya. Penghambatan pengembangan fisik dapat saja terjadi karena stres berkelanjutan yang membuat fisik memburuk. Perkembangan mental, tentunya, malah hancur karena bullying seolah menenemkan mental tunduk kepada anak yang tertindas. Pengembangan spiritual kemungkinan besar tidak akan terjadi, dan pengembangan sosial akan terhambat karena ketika mereka ditindas, banyak orang semakin menjauhi mereka entah karena takut ditarget penindas karena dianggap membela tertindas atau alasan lainnya.
Bagi para orangtua dan yang bertanggung jawab atas anak, ayat 2 menyebutkan tugas mereka: Orangtua atau orang lain yang bertanggungjawab atas anak, mempunyai tanggung jawab utama untuk mengupayakan kondisi kehidupan yang diperlukan untuk pengembangan anak, sesuai dengan kemampuan dan kondisi keuangan mereka. Ayat ini menunjukkan tanggung jawab dari orangtua atau yang bertanggung jawab atas anak untuk terus berupaya membuat kondisi kehidupan tersebut.
Pada undang-undang Indonesia, juga terdapat beberapa ayat yang dilanggar oleh bullying, seperti pada Pembukaan UU RI No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak pasal c-d. Pasal d merupakan sambungan dari c. Bunyi pasal c adalah: Menimbang bahwa anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan. Pasal ini hanya menjelaskan mengenai kegunaan anak di masa depan, tetapi pasal d-lah yang penting: Menimbang bahwa agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental, maupun sosial, dan berakhlak mulia, perlu dilakukan upaya perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi. Dalam kedua undang-undang ini, dijelaskan efek jangka panjang dari kehidupan tanpa bullying, yang merupakan suksesnya tugas yang diemban tersebut.
Bab 3 pasal 4 dari undang-undang juga merupakan salah-satu undang-undang yang dilanggar bullying. Undang-undang itu mengatakan: Setiap anak berhak untuk hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Yang paling saya soroti adalah kata ”dari kekerasan dan diskriminasi”. Itu berarti, anak sebenarnya berhak untuk dilindungi dari bullying, karena kekerasan dan diskriminasi juga termasuk bullying jenis mental dan fisik.
Kewajiban orangtua dan yang bertanggungjawab atas anak semakin ditegaskan dalam pasal 13 ayat 1 yang berbunyi: Setiap anak selama berada dalam pengasuhan orangtua, wali, atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:
a. diskriminasi,
b. eksploitasi, baik ekonomi atau seksual,
c. penelantaran,
d. kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan,
e. ketidak adilan,
f. perlakuan salah lainnya.
Besarnya tanggung jawab orangtua/penanggungjawab anak semakin ditegaskan dalam ayat 2, yang berkata: Dalam hal ini, orang tua, wali, atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana dalam ayat 1, maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman. Sebuah ayat yang semakin menunjukkan tanggung jawab orangtua.
Pasal 16 Ayat 1 yang juga dilanggar bullying berkata: Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi. Sebenarnya ayat ini memiliki makna yang kuranglebih sama dengan pasal 13 ayat 1, tapi masih ada perbedaannya.
Setelah membaca sejauh ini, pastinya satu pertanyaan terpatri dalam pikiran kita, bagaimanakah cara menghentikan bullying?
Menurut Barbara Coloroso dalam bukunya Penindas, Tertindas, dan Penonton, hal pertama yang biasanya dilakukan kebanyakan orang adalah untuk melakukan sesuatu yang biasa disebutnya sebagai solusi sementara,seperti hukuman, pencabutan hak-hak istimewa, tamparan bagi sang penindas, dan pertolongan yang segera diberikan kepada anak tertindas.
Alih-alih solusi sementara tersebut, dia merasa bahwa pendidikan moral untuk mengajari kebaikan pada mereka, sekaligus mengajarkan tentang hal yang termasuk perbuatan baik dan agar memiliki kekuatan untuk berbuat baik. Dia menambahkan bahwa seorang anak seharusnya sangat ingin menjadi orang yang bertindak dengan berani- atau baik dan adil- mengetahui cara melakukannya.
Menurutnya, meskipun sekolah dan masyarakat juga memerankan peran penting, rumah adalah tempat dia menerima pelajaran moral pertamanya. Sehingga keluarga harus dicermati.
Dia menganggap bahwa ada tiga jenis keluarga, yaitu keluarga tembok-bata, keluarga ubur-ubur, dan keluarga tulang punggung. Baik keluarga tembok-bata dan keluarga ubur-ubur berpotensi menjadikan seorang penindas, tertindas yang tidak berdaya, dan penonton yang membantu penindas/berdiri di pihaknya dan tidak berani bertindak.
Keluarga tembok-bata adalah sebuah keluarga super-kaku. Dalam keluarga jenis ini, ”bata” di”semen” bersama sehingga keluarga memiliki perintah kendali, kepatuhan, ketaatan kepada peraturan, dll. Anak-anak kerap diperalat, dikontrol, dan dipaksa berpikir, sementara pemikiran dan perasaan mereka sendiri terabaikan. Secara keseluruhan, Coloroso menggambarkan keluarga tembok-bata sebagai sesuatu yang pada dasarnya merupakan sebuah hubungan yang bersifat diktator. Ciri-cirinya diantaranya adalah:
1. Ortu memiliki wewenang absolut, meneguhkan perintah-perintah, dan selalu menang.
2. Penegakan hukum secara kaku melalui kekerasan aktual atau khayalan serta ancaman.
3. Upaya mematahkan kehendak dan semangat anak dengan memberi rasa takut dan hukuman,
4. Penggunaan hinaan,
5. Penggunaan ancaman dan oenyuapan yang diperluas,
6. Sangat mengandalkan kompetisi,
7. Pembelajaran terjadi dalam atmosfer ketakutan.
8. Cinta yang bersyarat,
9. Anak diajari tentang hal yang harus dipikirkan dan bukan cara berpikirnya.
Bagaimanakah keluarga ini membentuk sebuah penindas? Perlu dicatat, bahwa hukuman fisik banyak dilakukan dalam keluarga ini. Sehingga, para calon penindas menganggap pemukulan, penendangan, cercaan, dan hal-hal lain yang pernah terjadi kepada mereka saat dihukum sebagai sesuatu yang diperbolehkan. Poin 7 mengenai pembelajaran dalam atmosfer ketakutan menimbulkan perasaan takut salah, bukan takut berbuat salah, pada anak, sehingga anak sering menyalahkan diri sendiri untuk kejadian penindasan terhadap mereka apabila merekalah sasaran, dan sikap apatis penonton yang takut mengambil risiko dan khawatir tidak melakukan sesuatu dengan benar. Sesungguhnya, keluarga jenis ini memang menghasilkan banyak penindas.
Keluarga ubur-ubur merupakan kebalikan keluarga tembok bata. Keluarga jenis ini sangat tidak terarah dan menetapkan disiplin yang longgar sekali. Orangtua menjadi plin-plan dan tidak jelas, memiliki cinta bersyarat sangat banyak, dan di beberapa kasus ortu secarafisik/psikologis menyingkirkan anak-anak dan memaksa mereka membela diri sendiri. Anak mendapat semua materi yang dibutuhkan, tapi tidak dapat kasih sayang, dekapan, dll. Perasaan hilang ini terlihat dalam hati yang rusak- rasa putus asa dan sedih. Anak mulai percaya bahwa kalau ada yang harus dilakukan, mereka harus melakukannya sendiri. Merasa tidak dicintai, tersingkir, dan mulai tidak percaya pada orang lain, mereka mulai belajar membohongi dan memanipulasi orang lain guna mendapat kebutuhan mereka. Karena lenggangnya disiplin dan kurangnya perhatian, maka penindas beraksi tanpa dapat ketahuan.
Keluarga jenis terakhir adalah keluarga tipe tulang-belakang yang penuh dengan kepedulian antarsesama keluarga. Disini, anak diajari bahwa mereka memiliki kebebasan menjadi diri sendiri sehingga mereka tidak perlu memanipulasi siapapun, menghina, atau menyerahkan diri ke penindas. Disini, anak-anak diberi banyak uluran kasih sayang dan dukungan terhadap anak, yang membuat moral sangat tinggi. Disini, anak-anak belajar untuk menerima perasaan mereka dan bertindak dengan bertanggung jawab pada perasaan itu melalui kesadaran diri. Cinta disini tak bersyarat seperti di 2 keluarga lainnya, dan anak dilindungi dari kemungkinan terkena dampak penindas atau kebutuhan menjadi penindas melalui peneguhan pesan-pesan yang menyuburkan suatu kesadaran diri yang kuat setiap hari. Pesan-pesan tersebut adalah aku menyukai diriku, aku dapat berpikir untuk diriku sendiri, tidak ada masalah yang sangat besar hingga tak terpecahkan. Dengan seluruh motivasi ini, keluarga tulang-belakang jelas merupakan yang terbaik dalam menyembuhkan bullying.
Kesimpulannya, untuk merubah siklus kekerasan dibutuhkan sesuatu yang disebut keberanian.Bagi penindas, mereka harus berani mengaku mereka salah, meminta maaf kepada yang telah ditindasnya, dan mencari solusi bagi masalah. Bagi tertindas, mereka harus berani menghadapi penindas dan bertindak tegas padanya. Penonton harus berani mawas diri bahwa kelakuan penindas salah, dan harus melakukan sesuatu untuk menghentikannya atau melaporkan kejadian tersebut. Dan darimana didapatkannya keberanian itu? Motivasi dan dukungan dari orangtua dan orang terdekat.
Satu hal lagi yang ditambahkan papaku, seluruh sekolah, institusi, dan orang harus sepakat bahwa bullying itu tidak dapat ditolerir sedikitpun dan harus dihentikan segera.
So, if your kid if a victim of bullying, don’t just sit back and relax. Do something. NOW.
Kamis, 31 Januari 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar