Kamis, 20 November 2008

Angel

Ini buku yang coba saya (Raka) tulis.
Dimohon tanggapan dan komentarnya ya...


Author : Raka Ibrahim Anshafarie

Prolog: Eros Green
Eros Green adalah politisi yang paling berpengaruh di seluruh Britania Raya kala itu.
Dia baik hati, dekat dengan masyarakat, selalu membuat keputusan yang tepat dan benar, tidak sombong, dan dihormati rakyatnya. Apalagi yang kurang darinya?
Dan lima tahun yang lalu, dia memutuskan untuk maju didalam pemilihan sebagai Perdana Menteri Inggris. Saat itu, publik yang tak puas pada hasil kerja John Major dari kantornya di Downing Street sedang haus akan seorang pemimpin baru dengan visi yang bagus, pendirian yang kuat, dan mampu membuat perubahan pada Britania Raya dan dunia.
Dan persis seperti itulah orang-orang memandang Eros Green.
Dengan penuh rasa percaya diri, dia maju dalam pemilihan. Sebagai orang baru dalam dunia politik, banyak orang tentu bercibir saat melihat keberaniannya. Beraninya orang yang bahkan tak pernah menjadi walikota untuk mengajukan diri sebagai pemimpin dan pengayom bagi sekitar 60 juta orang.
Namun, dia bukan orang yang mudah menyerah. Dia berbicara dihadapan banyak orang di seminar, forum, dan pertemuan-pertemuan akbar lainnya, dan ini memberinya banyak dana kampanye dan dukungan dari berbagai macam pihak mulai dari rakyat biasa hingga selebritis. Dan, setelah melalui salah satu pemilihan umum yang paling menegangkan yang pernah diketahui dan dialami oleh para umat manusia yang tersebar dari Aberdeen di Skotlandia sampai Plymouth di Inggris, dia berhasil memenangkan pemilihan umum itu dengan selisih hanya 0,3 persen dari pesaing terdekatnya, Edmund Brock, seorang cendekiawan asal Wales.
Dalam waktu lima tahun, dia bisa dibilang telah melakukan perubahan yang luar biasa. Dia memperbaiki hubungan Uni Eropa dengan Timur Tengah, mencari dan menemukan sebuah sumber minyak di lepas pantai Irlandia Utara, mengurangi angka kemiskinan hingga 70 persen, dan membuka banyak lapangan kerja baru. Segera dia menjadi idola dan pahlawan baru bagi publik Britania Raya. Mana mungkin ada orang yang saking bencinya pada dia, hingga tega membunuhnya?
Tapi, kau akan terkejut jika tahu seberapa cepat kenyataan bisa berubah…







Bab 1: Dead Man Walking
Kepolisian London, Inggris
“Mr. Angel, Anda dipanggil oleh Chief Slade.” Panggil bocah itu.
Pria yang disebut Angel itu menoleh, dan menatap bocah kecil itu lekat-lekat. “Baiklah, nak. Katakanlah pada Mr. Slade bahwa aku akan datang segera.”
Namanya Gregory Angel. Dia orang Inggris tulen, dan sejak kecil sudah ingin menjadi polisi. Tapi bukan polisi biasa yang mengatur lalu lintas jalanan London, tapi yang mengurusi “hal-hal seru” seperti polisi di film-film Mel Gibson, Bruce Willis, atau bahkan seperti James Bond. Meski, secara teknis, James Bond bukan polisi, intinya Angel tak mau terlibat dalam pekerjaan yang sepele.
Rambutnya kemerahan, dan dipotong dengan gaya agak meruncing. Jika dlihat dari jarak jauh, pasti orang-orang akan mengira bahwa dia berasal dari Irlandia meski kenyataannya dia orang Inggris kulit putih. Wajahnya agak tajam, hidungnya mancung dengan tulang pipi yang menonjol. Bibirnya tipis, dan senyum kecil selalu tersungging disitu. Tubuhnya tinggi dan lumayan tegap. Dia memakai sebuah mantel panjang berwarna cokelat muda dan memakai setelan dan celana katun formal dibaliknya. Dia lumayan ekspresif, dan jika kau kenal dia, kau pasti tahu bahwa dia menerapkan gaya hidup sehat yang biasa diperlihatkan oleh banyak acara TV. Hanya seminggu sekali memakan daging merah, selalu memakan buah-buahan segar, olahraga setiap hari, lebih memilih susu daripada kopi, dan hanya sekali-kali memakan makanan manis.
Dia berjalan melalui lorong yang penuh sesak itu, dan memasuki kantor Chief David Slade, yang dijuluki Slick oleh rekan-rekan kerjanya karena kemampuannya yang terkenal untuk membujuk para bawahannya untuk mengerjakan beberapa pekerjaan yang biasanya akan langsung dijawab dengan kata “Tidak”. Dan manusia berlidah lihai itu berdiam di sebuah ruangan dibalik pintu dengan daun pintu yang terbuat dari emas.
“Mr. Slade, Wayne bilang Anda memanggil saya.” Kata Angel, seraya memasuki ruangan yang singkatnya, terlalu mewah bahkan bagi seorang kepala polisi.
“Betul, Angel.” Balas Slade dari tempat duduknya. “Duduklah didepan mejaku. Ada sebuah tugas penting yang ingin aku berikan padamu.”
Pria yang ada dihadapan Angel memang berpenampilan seperti konglomerat. Kepalanya agak memanjang, dan rambutnya yang putih hanya ada di sisi-sisi kepalanya. Usianya 53 tahun, dan dia bisa saja pensiun sekarang juga dan tetap hidup nyaman andaikata dia tak sebegitu cintanya pada kepolisian Inggris.
“Apa kau tahu Eros Green, Angel?” Tanya Slade.
Angel mengerutkan wajahnya, seolah itu adalah pertanyaan paling konyol yang pernah didengarnya seumur hidup. “Tentu saja, Chief Slade. Dia ‘kan Perdana Menteri Britania Raya. Kabarnya dia mau diberi gelar Ksatria.”
“Bagus, Angel, karena tugasmu kali ini amat melibatkan Mr. Green.” Kata Chief Slade.
“Memangnya ada apa dengan Mr. Green?” Tanya Angel.
“Apa kau belum tahu? Mr. Eros Green akan memainkan Romeo di drama terkenal karya Shakespeare itu, Romeo and Juliet.”
“Hebat,” kata Angel. “Masalahnya, apa hubunganku dengan itu?”
“Romeo dan Juliet versi ini telah diubah. Dimodifikasi, istilah lainnya. Dia jadi versi modern. Romeo takkan mati karena racun, dia akan mati karena pembunuh bayaran yang dibayar oleh keluarga Capulet.” Slade menjelaskan.
“Lalu?” kata Angel, belum mengerti intinya.
“Tugasmu, Mr. Angel, adalah untuk melindungi Mr. Green dari bahaya apapun yang mungkin akan dihadapinya selama dia melakoni drama itu dan, tentunya, menjaganya dengan rasa kepedulian yang setinggi mungkin. Selain itu, Ratu Britania Raya juga datang.” Kata Chief Slade panjang lebar.
“Maksudmu, aku akan jadi seorang pengawal pribadi, seperti Kevin Costner di film The Bodyguard?”
“Persis.” Jawab Chief Slade.
“Dan Mr. Green akan jadi Whitney Houston-nya?”
“Benar,” kata Chief Slade.
“Baguslah. Apa judul dramanya tadi?” Tanya Angel.
“Romeo and Juliet.” Kata Chief Slade. “Pertunjukkan dimulai jam 18.00 malam ini di teater jalanan di Tralfagar Square. Belilah tiketnya. Mr. Green akan sampai disitu pada jam 16.30, jadi saya sarankan Anda berangkat kesana sekarang.”
“Apa bayaranku untuk ini?”
“Aku kira melayani negara sudah menjadi bayaran yang cukup bagimu.” Kata Chief Slade.
“10 bulan yang lalu, mungkn jawabannya ya. Tapi kini, aku sangat membutuhkan uang.”
“Lima ribu poundsterling. Setengah sekarang, setengahnya lagi setelah drama itu selesai. ” kata Slade singkat.
“Trims.”
“Jika kau berhasil menyelesaikan tugas ini tanpa ada kesalahan, Mr. Angel,” kata Slade sebelum Angel keluar dari kantornya. “Kau akan naik pangkat jadi Kapten, tapi jika gagal,” dia berhenti sebentar untuk menambah kedramatisan. “Kau akan kembali bekerja di lalu-lintas. Apa itu jelas?”
“Tentu saja, Mr. Slade.” Kata Angel, dan dia keluar dari kantor Mr. Slade.
* * * *
Loket itu adalah loket dengan antrian terpanjang yang pernah dilihat Angel dalam 35 tahun hidupnya.
Setelah menunggu selama 1 jam penuh, akhirnya dia sampai ke depan antrian itu. Sebagai bodyguard Mr. Green, tentu dia harus mendapat kursi VIP dan membeli sebuah all-access pass alias kartu akses penuh agar dia bia mengikuti Mr. Green kemana saja.
“Satu tiket VIP dan kartu akses penuh, pak.” Kata Angel.
“Jadinya 1,500 poundsterling, pak.” Kata petugas itu.
“Apa? Itu namanya pencurian di siang bolong!!!” Angel berteriak marah.
“Tiket VIP harganya 500 pounds, dan untuk mendapat satu kartu akses penuh, Anda harus membayar 1000 pounds. Lagipula, ini ‘kan jam 4 sore, bukan siang bolong.”
“Terserahlah,” gerutu Angel. “Tapi aku akan menulis surat keluhan pada manajermu.”
“Andai kita punya manajer, pak.” Jawab petugas itu dengan nada bosan.
Sebelum Angel pergi, Chief Slade mendatangi Angel.
“Sebelum aku lupa, Angel, kau kuberi sebuah kartu akses penuh dan satu tiket VIP untuk pertunjukan malam ini. Gratis kok.” Katanya.
Angel tampak terkejut. Bagaimana tidak, dia rugi 1,500 poundsterling karena keterlambatan bosnya. Hatinya memaki dengan bahasa yang terlalu kasar untuk ditulis disini, tapi mulutnya berkata, “Terima kasih, pak.”
“Bagus,” kata Slade dingin, seolah-olah dia merasakan kemarahan Angel. “Mr. Green sedikit terlambat.” Katanya seraya mengecek jam tangannya. Semua orang tahu bahwa Slade paling benci orang yang tak tepat waktu. “Ah, itu dia.”
Sebuah mobil limosin dengan bendera Britania Raya memasuki tempat parkir Tralfagar Square. Dari dalamnya, keluar seorang pria kulit putih bertubuh tegap yang memakai setelan sutra asli berwarna hitam. Sepintas tubuhnya terlihat gemuk, tapi sebenarnya dia lumayan berotot karena masa lalunya sebagai tukang daging. Wajahnya berbentuk seperti jeruk dan rambutnya yang ditata gaya Mohawk terlihat agak terlalu kasual bagi seseorang dengan tingkat seperti dia. Pria itu adalah Eros Green, Perdana Menteri Britania Raya.
“Ah, selamat sore Pak Perdana Menteri.” Sambut Slade dengan keramahan yang agak berlebihan sembari mengulurkan tangannya. “Selamat datang di Tralfagar Square. Nama saya Dean Slade, dan saya adalah kepala polisi di Kepolisian London.”
Eros Green menjabat tangannya, sebuah senyum lebar tersungging di wajahnya. “Maaf saya terlambat, tadi ada pertemuan dengan Kanselir Jerman dan Pangeran Saudi Arabia untuk membicarakan proses negosiasi damai dengan Timur Tengah.” Katanya dengan aksen campuran Inggris-Irlandia.
Slade tersenyum maklum. “Tak apa-apa, Mr. Green. Izinkanlah saya memperkenalkan Mr. Gregory Angel,” dia beralih pada Angel. “dia akan menjadi bodyguard Anda selama berjalannya acara ini.”
Green mengajaknya berjabatan tangan, tapi Angel keburu membungkuk. “Selamat sore, pak.” Kata Angel seolah berhadapan dengan Sang Ratu Britana Raya sendiri.
“Tak perlu seformal itu, Mr. Angel. Panggil saja saya Eros, atau Mr. Green. ”
“Baiklah, Pak Eros.” Kata Angel.
Slade sama sekali tidak senang dengan sikap kikuk Angel didepan Perdana Menteri. “Aku akan ada di tempat duduk paling depan, nomor A22, dengan penglihatan sempurna ke panggung itu. Kau, Angel, akan duduk di bangku A23, agar aku masih bisa mengawasimu sekaligus Mr. Green dalam waktu bersamaan. Sementara ini, cek dulu seluruh tempat duduk teater dan sekaligus panggungnya, jika ada pisau tersembunyi, senjata api, bom, atau apapun yang bisa mengancam nyawa Perdana Menteri ataupun Ratu Inggris, singkirkan segera.” Katanya pada Angel. “Mr. Green, saya sarankan Anda mempersiapkan diri segera, dan jangan lupa memakai baju Kevlar yang telah saya siapkan.” Perintahnya pada Green. “Saya sendiri akan memeriksa kesiapan para penembak jarak jauh di atap. Selamat sore.”
* * * *
Tidak ada orang di dunia yang suka mencari bom dibawah kursi seluruh teater, dan Angel bukan sebuah pengecualian. Bayangkan saja, teater jalanan itu bisa menampung sekitar 3,500 penonton, belum lagi jumlah kerumunan orang yang memadati daerah luar teater. Memang, jika kau ingin merencanakan sebuah pembunuhan, ini adalah tempat dan saat yang tepat. Bahkan jika Osama Bin-Laden kebetulan hadir ditengah-tengah penonton, kehadirannya takkan membuat siapapun curiga. Pengamanan semakin sulit dilakukan karena ini acara yang terbuka untuk umum. Namun, setelah mengecek seluruh kursi dengan bantuan 10 agen MI-6, Angel tidak menemukan apapun yang bisa membahayakan Mr. Green atau Ratu Britania, yang akan datang juga.
Angel melihat jam tangan murahnya; jarum jam menunjuk ke angka jam 5 tepat. Belum ada orang yang boleh mencari tempat duduk sebelum jam 17.45, jadi tidak ada yang bisa mencuri kesempatan untuk meledakkan sebuah bom sebelum acara dimulai. Secara teknis, semuanya aman. Secara teknis.
“Jadi, ada yang mencurigakan, Mr. Angel?” Tanya Slade, yang kebetulan baru saja selesai mengecek atap.
“Sama sekali tidak, Mr. Slade.” Jawab Angel. “Akui saja, tempat ini seaman cangkang kura-kura.”
Slade tampak tersinggung. Jika ada yang lebih dia benci daripada makanan yang tidak enak, orang yang tak tepat waktu dan lelucon buruk, itu adalah orang lain membuktikan bahwa dia salah. Dia memang seorang Mister Oh-Aku-Selalu-Benar-Jadi-Jangan-Berani-Mendebat.
“Tentu saja.” Kata Slade. “Saya hanya memastikan tempat ini aman. Teater jalanan begini target empuk bagi para pembunuh bayaran.”
“Mr. Slade,” celetuk Angel.
“Ya?”
“Ada sekitar 25 penembak jarak jauh yang mengepung daerah ini, nyaris semua orang harus memakai Kevlar, dan keamanan disini bahkan lebih ketat daripada bandara internasional manapun. Tempat ini tidak hanya seaman cangkang kura-kura, tapi seperti Armadillo yang sedang menggulung diri.” Kata Angel panjang lebar. “Tidak mungkin ada orang yang cukup nekat untuk mencoba macam-macam disini.”
Slade tak yakin. “Apa kau seorang penjahat, Mr. Angel?”
Angel menggeleng.
“Maka, pandanganmu itu tak bisa dipercaya. Kau harus jadi penjahat untuk mengerti cara pandang penjahat.” Kata Slade. “Mungkin saja, ada yang cukup nekat untuk melakukan sesuatu disini.”
Saat itu, Angel tak mendebat lagi.
* * * *
Taksi itu berjalan dengan mulus di jalanan London.
Di dalamnya, dua orang bertampang Italia bercakap-cakap dengan serius. Salah satunya pendek, memakai sebuah jas kulit Armani, sebuah topi bowler berwarna hitam, tak memiliki kumis maupun jenggot, dan sedang menghisap sebuah cerutu Kuba. Yang satunya sedikit lebih tinggi, berotot, memakai sebuah jaket sport dan celana jeans. Wajah si tinggi ini agak kasar, dan dihiasi oleh sebuah bekas luka yang memanjang ke samping di dahinya. Mereka adalah Giacomo Galli dan Andrea Petrelli, dua orang pembunuh bayaran terkenal asal Napoli, Italia. Mereka disini untuk melakukan sebuah pekerjaan yang, tentunya, berhubungan dengan pembunuhan.
“Bos pasti tak waras, menyuruh kita membunuh Perdana Menteri Inggris.” Kata Andrea, si pendek.
“Ingat saja,” tukas Giacomo. “Dia akan membayar kita 1 juta euro jika kita berhasil melakukan tugas ini.”
“Tapi ini bukan tugas yang mudah.” Sergah Andrea. “Apalagi, kita disuruh untuk membunuhnya dengan suatu cara yang tidak mencurigakan.”
Giacomo tertawa. “Baiklah, mungkin bos memang sedikit mabuk. Dimana-mana juga yang namanya pembunuhan pasti mencurigakan.
“Untungnya, aku punya sebuah rencana.” Kata Giacomo.
Si supir taksi mulai curiga. Mungkin kedua penumpangnya ini hanya berfantasi, atau malah merencanakan sebuah pembunuhan nyata. Yang jelas, dia harus mencari tahu.
“Permisi, pak.” Kata supir taksi itu dengan kesopanan tinggi. “Anda tidak sedang merencanakan pembunuhan nyata, ‘kan?”
Andrea tersenyum. “Memangnya apa hubunganmu dengan itu, ha?”
Supir taksi itu terlihat gugup. Dia tahu bahwa dia sedang diancam.
“Sama sekali tidak ada, pak.” Katanya. “Namun, perlu saya peringatkan bahwa membunuh Perdana Menteri Britania Raya mungkin bukan perbuatan yang bijaksana.”
“Kami tak peduli.” Kata Giacomo singkat. “Tapi jika kau peduli, artinya kau bisa jadi ancaman bagi rencana kami. Dan kami tak terlalu menyukai itu.”
Taksi itu berhenti mendadak, membuat beberapa orang berteriak marah. Tiba-tiba, terdengar sebuah suara tembakan. Tubuh seseorang digulingkan keluar taksi itu. Dia memegangi kakinya sambil berteriak kesakitan. Tanpa sedikitpun belas kasihan, taksi itu pergi dari situ, meninggalkan supir taksi yang malang itu sendirian di jalan.
* * * *
“Sudah siap, Pak?” Tanya Angel pada Mr. Green.
Mr. Green keluar dari ruang gantinya. Kini, dia memakai sebuah baju Inggris abad ke-16; baju berwarna hitam pekat dengan renda yang semencolok bulu merak. Jika ada yang melihat, reaksi langsung pasti adalah pernyataan bahwa baju itu terlihat seperti sesuatu yang keluar dari sebuah drama Shakespeare. Tapi, jika dipikir-pikir lagi, ini memang drama Shakespeare.
“Lebih dari siap. Aku sudah memakai rompi Kevlar-ku, dan rompi itu bahkan menutupi tanganku. Aku juga melihat penembak-penembak jarak jauh di pintu masuk Tralfagar Square dan bodyguard di depan panggung. Bahkan semua orang harus dicek dulu sebelum masuk toilet. Toilet, demi langit. Memangnya aku sepenting itu?” kata Mr. Green.
Angel mengecek perlengkapan Kevlarnya. “Kalaupun Anda tak sepenting itu, mungkin Ratu Inggris yang kita takutkan.”
Mr. Green terlihat terkejut, seolah dia belum mendengar kabar ini sebelumnya. “Ratu Elizabeth II akan datang? Jadi itu kejutannya.”
“Perlengkapan Anda sudah saya cek, Pak.” kata Angel. “Anda sudah aman. Semoga beruntung di panggung nanti.”
Mr. Green tertawa keras, seolah dia baru mendengar lelucon terbaik yang dia pernah dengar seumur hidup. “Beruntung, aku? Aku sudah terlalu sering beruntung. Mungkin kuota keberuntunganku sudah habis sampai disini.”