Rabu, 07 Januari 2009

Monk Vs Life

Monk. Life. Dua acara detektif itu berhasil membuatku berdecak kagum. Aksi dan tingkah laku Adrian Monk, si detektif penderita OCD (Obsessive-Compulsive Disorder) yang takut pada, well, nyaris segalanya di acara Monk mampu membuatku tertawa ngakak (Maafkan terminologiku yang agak terlalu kegaul-gaulan). Sedangkan, Charlie Crews di Life, seorang anggota polisi yang dituduh membunuh sebuah keluarga 12 tahun lalu dan dipenjara selama 12 tahun meski nyatanya dia tak bersalah. Keluar dari penjara, Crews mendadak kayak arena mendapat uang ganti rugi 50 juta dollar dari pengadilan. Dia akhirnya merasa cocok dengan ajaran Zen dan kembali bekerja di kepolisian sebagai detektif. Sikapnya yang berusaha mendamaikan pertengkaran dengan penjelasan-penjelasan rumit tentang Zen mampu membuat siapapun tersenyum, meski nyatanya Life ber-genre drama.

Pertama-tama, aku akan bercerita tentang Adrian Monk, si detektif brilian yang mengidap OCD. Pria ini memiliki masa lalu yang tak bahagia; kedua orangtuanya selalu bersikap acuh tak acuh, istrinya, Trudy, dibunuh oleh bom mobil, dan dia kehilangan pekerjaannya di kepolisian karena kesehatan mentalnya yang terganggu pasca dibunuhnya Trudy. Dengan semua ini, OCD-nya yang awalnya sudah cukup parah jadi semakin parah karena kedua tonggak penyeimbang hidupnya runtuh. Namun, dengan bantuan Kapten Leland Stottlemeyer dari Departemen Pembunuhan San Francisco, Monk berhasil diberi status sebagai Private Consultant alias detektif bagi kepolisian San Francisco. Meski pekerjaan barunya ini tak menjamin dirinya bakal masuk kepolisian SF lagi, dia senang dengan pekerjaannya. Sayangnya, OCD-nya membuat dia harus selalu ditemani asistennya, Natalie Teeger, dan psikiaternya, Dr. Chad Kroger.

Life adalah sebuah acara yang berpusat pada kehidupan Charlie Crews, polisi yang dituduh membunuh sebuah keluarga dan dipenjara selama 12 tahun meski bukti-bukti yang diteliti ulang menunjukkan bahwa dia ternyata tak bersalah. Akhirnya, Crews diberi uang 50 juta dollar sebagai “ganti rugi” atas hidupnya yang hilang selama 12 tahun dipenjara. Kini, dibekali oleh ilmu Zen-nya, dia memutuskan untuk kembali jadi detektif, dan bersama partner-nya, Dani Reese, dia berusaha untuk memecahkan kasus-kasus paling membingungkan yang ada di Los Angeles.

Kedua acara ini berhasil membuatku jatuh hati karena beberapa alasan: Satu, kedua detektif ini mampu menjadi mesin pengocok perut yang cukup efektif; Monk melalui tingkah polah OCD-nya, dan Crews lewat gaya bicaranya yang aneh dan pemilihan kata-katanya yang tak lazim. Dua, kedua detektif ini memiliki kemampuan untuk membuatku berkata, “How did they do that?” Seorang detektif, seperti yang diketahui semua orang, harus memiliki kemampuan observasi yang luar biasa. Kedua detektif ini memilikinya. Monk mampu melihat kejanggalan sekecil apapun dan dari situ melancarkan deduksi ala Sherlock Holmes, sementara Charlie Crews, sama seperti Monk, amat teliti dan berdedikasi tinggi.

Tentunya, mereka memiliki beberapa perbedaan. Salah satu perbedaan yang paling mencolok, tentunya, adalah cara mereka menyelesaikan sebuah kasus. Monk lebih suka menyusun sebuah deduksi yang berdasarkan bukti-bukti yang telah tersaji, sementara Crews lebih memilih melakukan pendekatan psikologis yang praktis mampu membuat sang tersangka atau saksi mata yang awalnya bungkam, jadi mengaku. Adrian Monk me-review semua bukti, lalu menceritakan deduksinya soal apa yang terjadi di depan sang tersangka. Istilahnya, he shoves the evidence right to the suspect’s face. Dan saat sang tersangka sudah diam seribu bahasa, Kapten Stottlemeyer akan langsung menahan sang tersangka. Crews lain metodenya. Dia memang menunjukkan bukti-bukti dan/atau kejanggalan yang dia temukan, tapi dia tak langsung menceritakan deduksinya pada sang tersangka seperti Monk. Dengan kemampuan membujuknya yang sudah tingkat wahid, dia selalu berkata, “Now tell me what happened,” dengan nada lembut dan wajah yang ramah, alih-alih the tough guy look yang biasa dipakai polisi. Sang tersangka/saksi mata seolah tergerak oleh bujukan Crews, dan langsung mengaku di tempat. Setelah itu, Crews tersenyum padanya, sementara Dani Reese langsung memborgolnya dan membawanya ke kantor polisi.

Namun, ada suatu kesamaan yang membuat mereka jadi menarik.

Mereka berdua terobsesi pada sesuatu, dan kebetulan tema obsesi mereka sama.

Menemukan pembunuh.

Monk stress berat karena dia tak mampu menemukan pembunuh Trudy, istri yang amat dicintainya, sementara Crews sangat ingin menemukan orang yang membunuh keluarga itu, orang yang membuatnya dipenjara selama 12 tahun. Meski belum mampunya dia untuk menemukan si pembunuh itu tak membuatnya mengidap kelainan mental seperti Monk, Crews masih rela bertindak nekat untuk mencari sang pembunuh.

Kedua acara TV ini memiliki jargon khasnya tersendiri. Monk punya beberapa kata-kata khas, seperti “It’s a gift, and a curse.” yang dia pakai untuk menggambarkan kemampuan observasinya yang luar biasa, serta “Here’s what happened,” sebuah intro yang selalu dia pakai sebelum melancarkan deduksinya. Acara Life juga memiliki beberapa kata-kata khas. Pengacara Crews, Constance Griffiths, mengatakan kata-kata berikut saat dia diwawancarai oleh kantor berita setempat soal dilepaskannya Crews: “Life was his sentence, and life is what he gets back.” Selain itu, saat ditanya soal keadaan Crews saat pertama kali ditemuinya, Constance berkata singkat: “He gives up,” “Gives up on what?” sang reporter bertanya balik. “He gives up on life.” Sungguh dalam.

Pada ahirnya, aku hanya bisa mengucapkan selamat pada Andy Breckman, pencipta Monk, serta Rand Ravich, pencipta Life. Kedua acara yang mereka buat ini benar-benar berhasil mencuri perhatianku. Dan percayalah, tak banyak yang bisa melakukan itu.

1 komentar:

wew mengatakan...

hehe OCD seperti si jimbronyang ada di tetralogi laskar pelangi hehehe :D