Rabu, 07 Januari 2009
Sinopsis Buku Angel
Gregory Angel adalah seorang polisi gagal dengan masa lalu yang selalu menghantuinya – gagal mencegah pembunuhan PM Inggris. Namun, dia akhirnya mendapat kesempatan kedua. Andrea Petrelli, seorang agen MI6 yang pernah menyusup masuk Mafia Italia ditemukan terbunuh di apartemennya, kemungkinan dibunuh karena berhasil mengetahui detail suatu operasi rahasia. Akhirnya, dia dan seorang lulusan akademi polisi London keturunan Arab-Ceko, Rozenhal, harus menyusup masuk ke dalam Mafia untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi di situ. Ternyata, Mafia sedang mengadakan kompetisi, kompetisi untuk membuat kekacauan terbesar sepanjang masa dengan hadiah uang 50 miliar dolar. Dan yang direncanakan Luigi Antonini, pemimpin Mafia Italia, mungkin bisa menghasilkan shock terbesar abad ini: Diledakkannya sebuah tambang emas raksasa, dan rahasia, di Flores.
Resensi Buku "The Name Of This Book Is Secret"
“The Name Of This Book Is Secret” adalah buku yang, bagi saya, sudah mengundang rasa ingin tahu sejak mengetahui judulnya. Penulisnya, Pseudonymus Bosch (Nama Samaran), berhasil menciptakan sebuah buku yang mampu membuat kita terus menebak-nebak dari awal sejak akhir.
Dua anak dengan latar belakang unik, Cassandra dan Max-Ernest, memutuskan untuk menyelidiki misteri besar dibalik kematian seorang pesulap tua di rumahnya. Pria tertutup yang mengidap synasthaesia (tak bisa membedakan bau, pengelihatan, dan suara) itu meninggal di rumahnya, kabarnya akibat kebakaran, namun mayatnya tak ditemukan dan dari seluruh rumahnya, hanya dapurnya saja yang tampak habis terbakar. Peninggalannya hanyalah sebuah koper yang berisi Kristal yang menyimpan bau yang disebut sebagai Symphony Of Smells, dan beberapa barang tak berharga lainnya. Namun, saat Cassandra dan Max-Ernest menyelidiki rumah penyulap tua itu, mereka melihat sepasang orang yang tampak amat tertarik pada peninggalan-peninggalan pesulap tua itu. Dr. L dan Ms. Mauvais, begitu mereka disebut, amat berambisi untuk mendapatkan Symphony Of Smells dan jurnal tua milik pesulap itu. Saat Cassandra dan Max-Ernest menyelidiki kehidupan si pesulap tua itu lebih jauh, mereka mengetahui masa lalu kelam pria ini, dan juga mengetahui bahwa pria ini memegang kunci untuk sebuah Rahasia yang membuatnya diburu oleh perkumpulan rahasia Alkemis yang rela melakukan apa saja untuk bisa mengetahui Rahasia ini: Ramuan untuk hidup abadi.
New Born
Andreas, Erika dan Christian adalah 3 orang teman baik yang kuliah di Harvard. Namun, pada suatu hari mereka bertiga membuat onar, dan mereka dikirim ke kantor kepala sekolah. Mereka kemudian disuruh untuk ke perpustakaan dan mencari buku tentang cara berkelakuan baik, tapi mereka malah menemukan buku lain. Buku itu bercerita tentang New Born, anak yang memegang kekuatan 3 elemen bumi. Kabarnya, sekali setiap 500 tahun, seorang anak mendapat kendali atas kekuatan itu, dan dia menjadi seorang New Born. Semuanya kekuatannya biasa-biasa saja, dan paling "hanya" cukup untuk memasok listrik dunia selama 40 tahun. Namun, sekali setiap 5,000 tahun, akan muncul seorang New Born yang lebih kuat dari New Born-New Born lainnya, dan menurut perhitungan Christian, New Born itu akan datang sekarang. Mereka lalu mulai mencari anak-anak dengan gejala-gejala New Born, dan setelah beberapa bulan dan buntunya pencarian mereka, mereka mendapat sebuah petunjuk. Seorang anak bernama Katarina Lourdes mengaku memiliki kekuatan New Born ini, dan ketiga orang teman ini lalu mengunjungi rumah Katarina di Paris. Masalahnya, sebuah organisasi bernama The Company yang ingin menguasai dunia dengan kekuatan New Born dan mengisi dunia hanya dengan manusia super yang bisa diberi kekuatan dengan serum ciptaan mereka telah menculik Katarina, dan tak ada yang bisa dilakukan oleh ketiga orang ini. Mereka berusaha memberitahu PBB, tapi orang-orang di situ tak percaya pada mereka, dan mereka malah diusir. Kemudian, Andreas mencertakannya pada Ayahnya, namun ayahnya juga tak bisa membantu. Bukan karena dia tak percaya, tapi karena ayahnya ternyata pemimpin The Company.
Monk Vs Life
Monk. Life. Dua acara detektif itu berhasil membuatku berdecak kagum. Aksi dan tingkah laku Adrian Monk, si detektif penderita OCD (Obsessive-Compulsive Disorder) yang takut pada, well, nyaris segalanya di acara Monk mampu membuatku tertawa ngakak (Maafkan terminologiku yang agak terlalu kegaul-gaulan). Sedangkan, Charlie Crews di Life, seorang anggota polisi yang dituduh membunuh sebuah keluarga 12 tahun lalu dan dipenjara selama 12 tahun meski nyatanya dia tak bersalah. Keluar dari penjara, Crews mendadak kayak arena mendapat uang ganti rugi 50 juta dollar dari pengadilan. Dia akhirnya merasa cocok dengan ajaran Zen dan kembali bekerja di kepolisian sebagai detektif. Sikapnya yang berusaha mendamaikan pertengkaran dengan penjelasan-penjelasan rumit tentang Zen mampu membuat siapapun tersenyum, meski nyatanya Life ber-genre drama.
Pertama-tama, aku akan bercerita tentang Adrian Monk, si detektif brilian yang mengidap OCD. Pria ini memiliki masa lalu yang tak bahagia; kedua orangtuanya selalu bersikap acuh tak acuh, istrinya, Trudy, dibunuh oleh bom mobil, dan dia kehilangan pekerjaannya di kepolisian karena kesehatan mentalnya yang terganggu pasca dibunuhnya Trudy. Dengan semua ini, OCD-nya yang awalnya sudah cukup parah jadi semakin parah karena kedua tonggak penyeimbang hidupnya runtuh. Namun, dengan bantuan Kapten Leland Stottlemeyer dari Departemen Pembunuhan San Francisco, Monk berhasil diberi status sebagai Private Consultant alias detektif bagi kepolisian San Francisco. Meski pekerjaan barunya ini tak menjamin dirinya bakal masuk kepolisian SF lagi, dia senang dengan pekerjaannya. Sayangnya, OCD-nya membuat dia harus selalu ditemani asistennya, Natalie Teeger, dan psikiaternya, Dr. Chad Kroger.
Life adalah sebuah acara yang berpusat pada kehidupan Charlie Crews, polisi yang dituduh membunuh sebuah keluarga dan dipenjara selama 12 tahun meski bukti-bukti yang diteliti ulang menunjukkan bahwa dia ternyata tak bersalah. Akhirnya, Crews diberi uang 50 juta dollar sebagai “ganti rugi” atas hidupnya yang hilang selama 12 tahun dipenjara. Kini, dibekali oleh ilmu Zen-nya, dia memutuskan untuk kembali jadi detektif, dan bersama partner-nya, Dani Reese, dia berusaha untuk memecahkan kasus-kasus paling membingungkan yang ada di Los Angeles.
Kedua acara ini berhasil membuatku jatuh hati karena beberapa alasan: Satu, kedua detektif ini mampu menjadi mesin pengocok perut yang cukup efektif; Monk melalui tingkah polah OCD-nya, dan Crews lewat gaya bicaranya yang aneh dan pemilihan kata-katanya yang tak lazim. Dua, kedua detektif ini memiliki kemampuan untuk membuatku berkata, “How did they do that?” Seorang detektif, seperti yang diketahui semua orang, harus memiliki kemampuan observasi yang luar biasa. Kedua detektif ini memilikinya. Monk mampu melihat kejanggalan sekecil apapun dan dari situ melancarkan deduksi ala Sherlock Holmes, sementara Charlie Crews, sama seperti Monk, amat teliti dan berdedikasi tinggi.
Tentunya, mereka memiliki beberapa perbedaan. Salah satu perbedaan yang paling mencolok, tentunya, adalah cara mereka menyelesaikan sebuah kasus. Monk lebih suka menyusun sebuah deduksi yang berdasarkan bukti-bukti yang telah tersaji, sementara Crews lebih memilih melakukan pendekatan psikologis yang praktis mampu membuat sang tersangka atau saksi mata yang awalnya bungkam, jadi mengaku. Adrian Monk me-review semua bukti, lalu menceritakan deduksinya soal apa yang terjadi di depan sang tersangka. Istilahnya, he shoves the evidence right to the suspect’s face. Dan saat sang tersangka sudah diam seribu bahasa, Kapten Stottlemeyer akan langsung menahan sang tersangka. Crews lain metodenya. Dia memang menunjukkan bukti-bukti dan/atau kejanggalan yang dia temukan, tapi dia tak langsung menceritakan deduksinya pada sang tersangka seperti Monk. Dengan kemampuan membujuknya yang sudah tingkat wahid, dia selalu berkata, “Now tell me what happened,” dengan nada lembut dan wajah yang ramah, alih-alih the tough guy look yang biasa dipakai polisi. Sang tersangka/saksi mata seolah tergerak oleh bujukan Crews, dan langsung mengaku di tempat. Setelah itu, Crews tersenyum padanya, sementara Dani Reese langsung memborgolnya dan membawanya ke kantor polisi.
Namun, ada suatu kesamaan yang membuat mereka jadi menarik.
Mereka berdua terobsesi pada sesuatu, dan kebetulan tema obsesi mereka sama.
Menemukan pembunuh.
Monk stress berat karena dia tak mampu menemukan pembunuh Trudy, istri yang amat dicintainya, sementara Crews sangat ingin menemukan orang yang membunuh keluarga itu, orang yang membuatnya dipenjara selama 12 tahun. Meski belum mampunya dia untuk menemukan si pembunuh itu tak membuatnya mengidap kelainan mental seperti Monk, Crews masih rela bertindak nekat untuk mencari sang pembunuh.
Kedua acara TV ini memiliki jargon khasnya tersendiri. Monk punya beberapa kata-kata khas, seperti “It’s a gift, and a curse.” yang dia pakai untuk menggambarkan kemampuan observasinya yang luar biasa, serta “Here’s what happened,” sebuah intro yang selalu dia pakai sebelum melancarkan deduksinya. Acara Life juga memiliki beberapa kata-kata khas. Pengacara Crews, Constance Griffiths, mengatakan kata-kata berikut saat dia diwawancarai oleh kantor berita setempat soal dilepaskannya Crews: “Life was his sentence, and life is what he gets back.” Selain itu, saat ditanya soal keadaan Crews saat pertama kali ditemuinya, Constance berkata singkat: “He gives up,” “Gives up on what?” sang reporter bertanya balik. “He gives up on life.” Sungguh dalam.
Pada ahirnya, aku hanya bisa mengucapkan selamat pada Andy Breckman, pencipta Monk, serta Rand Ravich, pencipta Life. Kedua acara yang mereka buat ini benar-benar berhasil mencuri perhatianku. Dan percayalah, tak banyak yang bisa melakukan itu.